Mengintip Celah Dari Perda Bangunan Gedung
Peraturan Daerah (Perda) Bangunan Gedung baru saja disahkan usai melalui serangkaian pembahasan oleh Panitia Khusus (Pansus) DRPD Kota Surakarta. Perda tersebut menjadi revisi aturan sebelumnya, yakni Perda Bangunan Nomor 8 Tahun 2009.
Secara prinsip, ada sejumlah aspek yang membedakan dengan Perda sebelumnya. Diantaranya, mengenai pemisahan antara aturan bangunan gedung dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Selanjutnya, sejumlah poin penting menghiasi regulasi baru soal bagaimana membangun bangunan yang semestinya di Kota Solo.
Sebagaimana lazimnya sebuah pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) menuju Perda, maka pro kontra maupun perbedaan pendapatan berujung perdebatan menjadi keniscayaan. Namun bagaimanapun, Perda telah disahkan. Mudah-mudahan aturan baru ini akan membawa pembaruan dan mampu menjadi pengendali pembangunan di Kota Solo agar semakin lebih baik. Terutama, berkaitan dengan aspek Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dalam upaya pengendalian kota yang serasi selaras, seimbang dan berkelanjutan.
Lalu, poin apa saja yang menarik dari Perda ini?
Yang pertama, adalah pembatasan ketinggian bangunan di sekitar tiga kawasan dengan bangunan yang masuk kategori bangunan cagar budaya (BCB). Yakni, Keraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, dan Rumah Dinas Walikota Surakarta Loji Gandrung. Pembatasan ketinggian bangunan didasarkan pada zonasi jalan di sekitar BCB. Sesuai hasil pembahasan, maka ditetapkan pembangunan gedung di sebagian Jalan Yos Sudarso, Veteran, Kapten Mulyadi, Mayor Sunaryo hingga Slamet Riyadi tak boleh melebih Panggung Sangga Buwana Keraton yang memiliki ketinggian 32 meter.
Ketinggian Sangga Buwana pun menjadi patokan guna membatasi pembangunan gedung di sekitar Pura Mangkunegaran, yakni Jalan Yosodipuro, RM Said, Kartini dan Teuku Umar. Aturan Perda yang mengikat, tentu saja akan dibantu dengan alat pendukung lain sebagai fungsi pengendali.
Sementara, metode radius akan diberlakukan bagi Rumah Dinas Walikota Surakarta Loji Gandrung, dengan pembatasan ketinggian sesuai tinggi bangunan tersebut dalam radius 50 meter. Agak sedikit terlambat memang, terlebih dengan adanya “kecelakaan bangunan” sebuah gedung swasta berketinggian melebihi Loji Gandrung.
Cukup disayangkan mengapa otoritas pemegang wewenang perizinan tak mempertimbangkan matang sebelumnya. Diakui, keberadaan gedung tersebut cukup berdampak pada ranah privasi kegiatan di dalam Loji Gandrung. Di satu sisi, hal ini cukup merusak estetika kota dan kawasan cagar budaya tersebut.
Kedua, ada poin berikut berupa penyertaan Sertifikat Layak Fungsi (SLF) yang akan diberikan setelah pembangunan dirampungkan, atau setelah IMB diterbitkan. Sebelum SLF diserahkan, akan ada serangkaian pengecekan kesesuaian bangunan dengan izin yang diberikan. Ini menjadi semacam alat pengendalian, apakah memang peruntukan gedung yang dimaksud sudah sesuai atau tidak, termasuk memuat aturan lainnya.
Berikutnya, adalah pembatasan mengenai pemasangan reklame di bangunan. Secara mendetail, regulasi tersebut juga bakal dikemas dalam Peraturan Walikota (Perwali). Semangat yang dikandung, untuk memastikan bangunan tidak menjadi media visual reklame. Biarkan reklame berada di space semestinya, jangan sampai merusak visual kota.( hutan reklame)
Yang tak kalah penting, adalah penetapan persentase penggunaan ornamen atau arsiterktur Jawa minimal 20% dari luas bangunan. Dengan kata lain, bangunan wajib berornamen Jawa. Tujuannya untuk menjaga kearifan lokal. Ketentuan ini berlaku bagi pembangunan kantor pemerintahan pusat hingga daerah di Kota Solo, gedung BUMN dan BUMD, serta gedung publik dan fasilitas komersial seperti hotel dan restoran.
Hanya, yang menjadi persoalan ketika terjadi kebingungan soal standar pengukuran presentase itu. Bagaimana cara mengukurnya? Seperti apa tolok ukurnya?
Hal tersebut menjadi contoh kecil bagaimana Perda Bangunan Gedung masih belum cukup sempurna. Meski semangat yang diusung positif, hanya tak dapat dipungkiri masih ada sejumlah poin yang menjadi celah. Tanpa bermaksud mencari-cari, namun apabila menilik dan meninjau lebih jauh, maka akan ada sejumlah kelemahan dari sebuah sistem aturan tersebut. ( mudah-mudahan dalam perwali nanti akan ada penjelasan yamg lebih jelas dan spesifik mengenai cara mengukur prsentase tersebut .sebingga tidak akan menimbulkan kebinggungan dari masyarakat)
Terus terang, beberapa aspek menjadi perdebatan di ranah Pansus. Mengingat Perda ini merupakan revisi, salah satu hal yang cukup membingungkan adalah soal aturan pembatasan basement gedung. Sebelumnya, pemanfaatan basement hanya dibatasi hingga 2 lapis saja. Namun, kini pengembang punya kebebasan untuk menyertakan basement tanpa batasan, bahkan bisa sampai 4 lapis lebih.
Dinas Tata Ruang Kota (DTRK) Surakarta pun mencoba meyakinkan bahwa semua akan sesuai dengan kajian yang ada. Namun, sulit rasanya untuk menutup fakta bahwa potensi kerusakan lingkungan akan kian menjadi ketika pembangunan basement kian tak terbatas.
Kebijakan berikutnya adalah naiknya batasan maksimal ketinggian gedung di beberapa ruas jalan seperti Jalan Dr Soetomo, Dr Soepomo maupun Imam Bonjol. Yang tadinya maksimal 4 lantai lapis ke atas, sekarang dimungkinkan menjadi 9 lapis. Lagi-lagi, hal itu menjadi perdebatan, dan kembali diklaim sudah sesuai kajian.
Saya melihat ada sesuatu yang kurang tepat. Ketika di bagian lain mendapat pembatasan, kenapa justru kawasan lain ditinggikan? Yang kembali membikin kernyit dahi, dasar yang digunakan adalah status jalan. Dimana ada perubahan status dijalan lingkungan menjadi jalan kota (sesuai surat keputusan Gubernur Jawa Tengah). Menurut Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah, ada perubahan status dari jalan lingkungan menjadi jalan kota.
Dua revisi kebijakan tersebut, tak pelak masih memiliki celah dan dapat diperdebatkan. Ada baiknya apabila kita melihat kembali PP Nomor 15 Tahun 2010 tentang tata ruang dan Permen PU Nomor 20 Tahun 2015 soal teknis pedoman menentukan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan zonasi. Dimana, yang menjadi dasar untuk menaikkan batasan maksimal gedung adalah daya dukung lingkungan seperti ketersediaan sarana dan prasarana umum, transportasi umum, lebar jalan, keselamatan, bahaya kebakaran, hingga kenyamanan umum.
Setelah mempelajari Perda dan menerima sejumlah masukan dari para ahli dan akademisi, saya baru mengerti dan tahu apabila banyak bangunan di Kota Solo yang tak memenuhi ketentuan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Daerah Hijau (KDH). Apa itu KDB? Secara prinsip KDB adalah angka persentase yang memungkinkan seberapa banyak sebuah bangunan dapat dibangunan di dalam lahan milik kita. Sedangkan KDH adalah sebuah angka persentase untuk mengindikasikan seberapa banyak ruang terbuka hijau atau resapan yang wajib disediakan. Ketentuan KDH adalah untuk memastikan setiap bangunan agar menyediakan oksigen dan resapan yang cukup bagi lingkungan sekitarnya.
Namun, apabila melihat keberadaan bangunan-bangunan baru di Kota Solo, terbilang minim atau bahkan tidak menyediakan ruang terbuka hijau. Bisa dibayangkan apabila sebuah bangunan gedung yang bertingkat tinggi kemudian membangunan tidak sesuai ketentuan KDB atau KDH. Air yang mengalir dari gedung tersebut tidak akan meresap secara maksimal. Sebaliknya, aliran air juga tak akan masuk ke saluran drainase secara maksimal. Akibatnya apa? Timbul genangan atau banjir.
Saya berharap kelonggaran ini kelak tak dimanfaatkan sebagai eksplorasi pembangunan masif. Tentu ini menjadi sesuatu yang tak berpihak kepada masyarakat. Saya sepakat ada pembangunan gedung tinggi, namun dikembalikan ke masyarakat, seperti pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Di luar pemerintah siapa sih yang mampu membangun gedung tinggi? Siapa lagi kalau bukan investor.
Saya bukan bermaksud untuk menggugat hasil Perda. Namun saya hanya berharap Perda ini akan membawa kebaikan. Pemkot wajib memperhatikan celah yang ada, agar tidak sampai dimanfaatkan golongan yang hendak mengeruk keuntungan. Buat apa kita bikin Perda jika tak bisa ditaati dan diterobos seenaknya?