Skip to main content

Stadion Ramah Keluarga

Perasaan saya campur aduk saat perjalanan dari Magelang menuju Solo 2 Oktober 2022 lalu. Saat itu saya baru saja pulang menonton laga Liga 2 antara Nusantara FC melawan PSCS Cilacap di Magelang. Kaget, sedih, kecewa. Itu yang saya rasakan ketika membaca sebuah artikel di telepon genggam.

Artikel tersebut tak lain adalah tragedi Stadion Kanjuruhan yang menewaskan 125 jiwa usai laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Hati saya miris melihat foto anak-anak dibopong seorang lelaki dewasa di tengah kerusuhan. Saya tidak tahu apakah penonton cilik itu selamat atau tidak.

Yang jelas, data terakhir mencatat ada 39 anak yang meregang nyawa akibat insiden memilukan itu. Korban terkecil yakni anak usia balita (3 tahun). Sebanyak 43 perempuan meninggal dunia, salah satunya Helen Prisella yang mengembuskan napas terakhir setelah dirawat 10 hari di rumah sakit. Hingga 14 Oktober 2022 sedikitnya ada 132 jiwa yang meninggal dunia.

Jumlah itu jelas bukan sekadar angka, melainkan tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Stadion yang mestinya dapat memberikan hiburan dan ruang aman justru jadi “kuburan massal”. Hal ini menjadi pukulan telak bagi persepakbolaan nasional. Selama ini bukan hal yang mudah untuk mengajak perempuan dan anak menonton bola langsung di stadion.

Iklim sepak bola nasional yang masih rentan kerusuhan menjadi salah satu alasan keluarga enggan datang ke stadion. Beberapa musim terakhir sejatinya mulai banyak perempuan dan anak hadir ke stadion, termasuk Stadion Manahan. Pemandangan orangtua mengajak anak-anaknya naik tribun semakin lazim ditemui ketika markas Persis Solo itu selesai direnovasi.

Tragedi Kanjuruhan saya yakini sedikit banyak berpengaruh terhadap keberanian perempuan dan anak menapakkan kaki ke stadion. Usai insiden tersebut, saya dibanjiri pesan yang mempertanyakan sejauh mana keamanan Stadion Manahan, stadion yang saya kelola setiap Persis berlaga. Namun setiap tragedi selalu dapat menjadi hikmah bagi orang yang mau belajar.

Belakangan ini perdamaian suporter tumbuh subur. Sebelumnya, hampir tak bisa dibayangkan fans Persis Solo dan PSIM Jogja bisa saling berangkulan dan bernyanyi bersama. Momentum serupa bisa diraih untuk pembenahan stadion secara menyeluruh. Tak hanya perbaikan infrastruktur, memastikan seisi stadion memiliki kultur ramah keluarga juga tak kalah penting.

Perlu desain sosial agar stadion tak menjadi “medan perang”, melainkan sarana hiburan yang menyenangkan. Panpel memegang peranan penting untuk mewujudkannya. Panpel idealnya tak hanya menjadi penyelenggara, tapi pelayan semua stakeholder yang terlibat seperti klub, suporter, perangkat pertandingan hingga aparat keamanan.    

Protokol Perlindungan

Panpel bersama stakeholder perlu mulai menyusun panduan perlindungan bagi para kelompok rentan seperti perempuan, anak dan penyandang disabilitas. Protokol tersebut menjadi semacam standard operational procedure (SOP) yang harus ditaati “warga stadion”. Protokol wajib diberlakukan mulai dari

penonton masuk ke kawasan stadion seperti pintu masuk dan screening tiket. Apabila belum memiliki pintu khusus, panpel dapat menyiagakan petugas agar kelompok rentan tak perlu antre berdesak-desakan saat memasuki stadion. Hal ini sudah diberlakukan di Stadion Manahan.

Memastikan tak ada asap rokok di tribun juga menjadi bagian mewujudkan stadion ramah keluarga. Tak hanya lewat screening di pintu masuk dan pemasangan tanda larangan merokok, penonton perlu andil membangun kesadaran. Tak perlu ragu menegur orang yang nekat merokok demi kenyamanan bersama. Jika tak berani mengingatkan langsung, petugas dapat turun tangan berbekal protokol yang ada.   

PR yang cukup menantang untuk membuat stadion nyaman bagi semua kalangan adalah mengelola chant atau nyanyian suporter. Tak jarang chant yang dikumandangkan suporter bersifat ofensif, berisi kalimat kasar hingga umpatan. Sumpah serapah bakal semakin deras ketika klub idola mereka kalah atau dirugikan. Suporter tak sadar ada anak-anak yang hadir di tengah mereka.

Hal ini tentu buruk bagi tumbuh kembang anak mengingat mereka adalah peniru ulung. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan hampir 70% perilaku anak adalah meniru lingkungannya. Selama ini hampir semua panpel di Indonesia memakai pendekatan memisah tribun kelompok suporter dengan penonton umum sebagai solusi. Upaya ini tidak salah, tapi tak menyelesaikan akar permasalahan.

Ada baiknya lintas stakeholder mengutamakan edukasi suporter sehingga pemahaman tentang stadion ramah keluarga sampai hingga akar rumput. Gagasan tribun khusus keluarga juga menarik diwujudkan. Penonton memilih tribun ini bukan lagi karena pertimbangan harga tiket, tapi karena kenyamanan. Lokasi tribun keluarga harus dipastikan jauh dari potensi kekerasan atau pelanggaran.

Jangan lupakan pula tribun untuk kalangan disabilitas. Belum banyak stadion di Indonesia yang memiliki tribun khusus difabel. Kalaupun ada, tribun tersebut belum ditunjang akses yang benar-benar nyaman bagi kalangan disabilitas. Stadion bakal semakin manusiawi dengan penyediaan posko kesehatan yang tersebar di penjuru stadion. Penyediaan tempat ibadah yang representatif juga perlu dipikirkan mengingat jadwal pertandingan kadang berhimpitan dengan jadwal beribadah.

Tiket Pelajar

Selain penyediaan fasilitas, kemudahan akses pembelian tiket dapat menjadi nilai plus tersendiri. Gagasan tiket khusus anak atau pelajar sudah saatnya direalisasikan. Harga tiket anak dapat dipasang lebih murah, bisa setengah harga tiket orang dewasa. Dalam hal ini manajemen klub perlu responsif dengan menyediakan kuota tiket anak yang proporsional.  

Keberadaan tiket khusus anak secara tidak langsung mengedukasi mereka dalam mendukung klub kebanggaan. Orangtua dapat sekaligus mengajarkan anak menyisihkan uang jajan demi menonton klub idola. Nonton bola di stadion bakal semakin menjadi sarana edukasi apabila anak diajak naik transportasi umum menuju lokasi.

Warga Solo pantas bersyukur karena Stadion Manahan dilalui Batik Solo Trans (BST) yang hingga kini masih gratis. Penonton atau suporter dapat memanfaatkan sarana tersebut menuju stadion untuk menghemat pengeluaran. Mengendarai transportasi umum juga dapat mengantisipasi kepadatan di ruang parkir hingga potensi kerusuhan yang bisa merusak fasilitas di sekitar stadion.

Potensi kerusuhan juga dapat ditekan apabila ada koordinasi yang baik antara stakeholder dengan pihak keamanan. Perlu penyamaan persepsi agar tragedi seperti di Kanjuruhan tidak terulang. Sesuai regulasi FIFA, gas air mata apalagi senjata api sama sekali tidak boleh dibawa ke dalam stadion. Saat mengelola Stadion Manahan, saya selalu menekankan agar petugas hanya membawa tongkat meskipun itu laga bertensi tinggi.

Langkah persuasif dan mengayomi perlu dijunjung tinggi petugas keamanan untuk menciptakan suasana yang nyaman. Sudah saatnya kita menganggap semua pengunjung stadion adalah keluarga. Dengan demikian, kita bisa saling melindungi dan menjaga.
 

Oleh: Ginda Ferachtriawan

Ketua Panpel PERSIS Solo