Skip to main content
Pengusaha dan Regulasi

Pengusaha dan Regulasi

Pengusaha & Regulasi
Saling Berdampingan Untuk Dipahami

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIMPI) merupakan organisasi independen non partisan para pengusaha muda Indonesia yang bergerak di bidang perekonomian. Organisasi ini didirikan dengan dilandasi semangat untuk menumbuhkan wirausaha di kalangan pemuda.

HIPMI senantiasa adaptif dengan paradigma baru, yakni menjadikan Usaha Kecil - Menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional. Para kader HIPMI tidak saja diharapkan menjadi pengusaha nasional yang tangguh, tetapi juga menjadi pengusaha yang berwawasan kebangsaan dan memiliki kepedulian terhadap tuntutan nurani rakyat.

Akhir September ini menjadi momentum dimana struktur kepengurusan HIPMI Surakarta memasuki masa akhir periode. Suksesi menjadi agenda berikutnya. HIMPI Surakarta bakal berganti nahkoda dan tak pelak gerbong struktur dibawahnya akan diperbaharui. Patut dinanti bagaimana kelanjutan organisasi baru tersebut dalam mengarungi perjalanannya, sekaligus melanjutkan visi misi yang telah ditetapkan.

Berbicara mengenai kiprah HIPMI Surakarta, tentu tak bisa dipandang sebelah mata. Kontribusi terhadap dinamika bisnis di Kota Solo pun terbilang cukup luar biasa. Hanya, hal itu diharapkan tak lantas membuat HIPMI Surakarta berpuas diri. Sebab, banyak tantangan yang bakal dihadapi, terutama bagi kepengurusan baru. Hal ini patut menjadi perhatian. Terlebih, seiring dengan perkembangan dunia usaha saat ini, perlu ada inovasi dan kreativitas dari para pengusaha muda.

Namun kesampingkan persoalan menghadapi tantangan dunia usaha. Sebagai anggota HIPMI Surakarta sekaligus bagian dari struktur legislatif Kota Solo, saya melihat tantangan yang dihadapi para pengusaha muda bukan hanya sekedar membangun pasar maupun meningkatkan dunia kerja.

Yang paling krusial dan menentukan terhadap aktivitas pengusaha itu sendiri, terkait pemahaman terhadap regulasi, baik yang bersifat lokal maupun nasional. Paham terhadap kewajiban, utamanya soal pajak daerah dan nasional.

Setuju atau tidak, namun faktanya masih banyak pengusaha kita yang belum bisa membedakan kedua hal tersebut. Butuh lebih dari sekedar pemahaman, supaya keberadaan pengusaha tak hanya memberikan manfaat kepada lingkungan sekitar. Namun yang terpenting adalah menyampaikan edukasi satu sama lain.

Lantas, apa yang harus mereka lakukan? Mau tak mau, suka tidak suka, pengusaha harus hafal dengan regulasi. Kalau kita bicara konteks di Kota Solo, setidaknya aturan di ranah lokal baik Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Walikota (Perwali) yang perlu dipahami dan diikuti. Konteks aktual yang tengah berkembang seperti tax amnesty sudah semestinya menjadi perhatian lebih. Tentunya kami berharap pengusaha memahami betul ranah pajak dan peruntukannya.

Pengusaha muda wajib membiasakan diri pada sesuatu yang benar berdasarkan aturan dari awal. Bukannya membenarkan hal yang sudah terbiasa. Hal ini cukup menjadi sorotan, dan perlu segera ditindaklanjuti.

Contoh konkretnya,  ada kasus dimana beberapa pengusaha yang mendirikan bangunan usaha, namun pada kenyataannya belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Begitu pula dengan kepemilikan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Masih banyak pengusaha yang tak memiliki syarat legal tersebut, namun sudah berani membangun usaha.

Yang cukup pelik dan masih saja terjadi, yaitu soal birokrasi penarikan pajak, temuan di beberapa pengusaha rumah makan yang tak mengantongi izin. Namun nyatanya mereka secara rutin sudah menyetor pajak usahanya. Konon, ada sebuah hotel di Kota Solo yang membayar pajak hotel, padahal izin yang dimiliki merupakan izin pemanfaatan kost. Demikian pula dengan adanya sebuah bangunan yang dibangun dengan ketinggian lantai melebihi ketentuan. Tapi nyatanya tetap bisa dibangun dan masih  beroperasi sampai saat ini.  

Tentu saja hal ini dapat memicu persoalan yang komplek di kemudian hari, apabila tak segera diurai dari sekarang. Kreativitas usaha memang menjadi hal yang diperlukan setiap orang yang tengah membangun usaha. Namun, bukan berarti kreativitas disalahgunakan untuk menerobos celah aturan. Semua mesti berpedoman terhadap Perda yang berlaku. Membuat usaha tanpa menyediakan lahan parkir yang memadai atau malah menutup saluran drainase untuk usaha tanpa izin, jelas merupakan sebuah pelanggaran.
Hal yang sama juga terjadi dengan keberadaan aturan usaha rumah makan, yang jam operasionalnya tak ditentukan. Yang terjadi saat ini, pengusaha memanfaatkan celah tersebut. Kita bisa melihat, beberapa rumah makan di Kota Solo yang konsepnya dibaurkan dengan penyedia jasa hiburan.

Ketika muncul celah regulasi tersebut, inilah saatnya HIPMI tampil dalam meluruskan budaya yang keliru. HIPMI harus mampu memberikan masukan, entah itu kepada pemerintah maupun legislatif. Maka, selain harus kritis, juga tetap memberikan contoh yang seharusnya kepada masyarakat. Sebaliknya, pemerintah kota pun mesti melakukan sinkronisasi antar dinas, kaitannya dalam menegakkan aturan.

Di sisi lain, pemerintah kota harus membentuk regulasi yang dapat memberikan ruang investasi kepada pengusaha. Apalagi, perkembangan dunia bisnis terus berjalan. Namun, kenyataannya ada sejumlah Perda yang kerap tertinggal dengan kondisi tersebut.

Sebagai contoh, adalah Perda Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum (URHU). Perda URHU wajib dievaluasi lantaran sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Mengapa demikian? Aturan jam operasional dan usaha hiburan sudah tak relevan dengan fakta terkini.

Sudah waktunya ada penyempurnaan. Jika memang Kota Solo hendak dijadikan Kota Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE), maka sudah pasti aspek hiburan akan menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Birokrasi berliku dalam pembuatan IMB sebagai syarat pembuatan SIUP, tak jarang merepotkan pengusaha pemula yang hendak memulai usaha. Terlebih, kini pajak hiburan sekitar 25 persen, terlalu tinggi dan menghambat investasi di bidang hiburan. Demikian pula dengan aturan minimal penggunaan reklame insidental selama satu pekan dengan pajak yang tinggi. Padahal, kebutuhan pemasangan reklame insidental , idealnya hanya sekitar 3 hari.

Maka, kita harus menyamakan persepi, harus ada kerjasama antara pemerintah kota dengan pengusaha. Jangan menjadi seorang pengusaha yang mengakali aturan. Disadari memang, pemerintah kota memiliki keterbatasan, dalam hal sumber daya manusia, penganggaran dan lain sebagainya. Di sinilah, pengusaha wajib berlaku sportif, sembari memahami dan mengikuti aturan yang berlaku.