Skip to main content
Tentang Pajak Restoran di Kota Solo

Tentang Pajak Restoran di Kota Solo

Ketaatan pembayaran pajak daerah menentukan kesuksesan pembangunan di kota Surakart , sebuah tagline yang baru dikampanyekan oleh Pemkot Surakarta. Warga masyarakat diharapkan membayar pajak daerah agar pembangunan di kota Surakarta akan semakin maju suskes, tapi seberapa besar sih kontribusi /peranan pajak daerah ?
Pada dasarnya pajak daerah merupakan salah satu bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) . Dan PAD merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan & Belanja Daerah (APBD) selain Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Mencermati nota keuangan /nota penjelasan walikota terkait APBD 2018 maka disampaikan bahwa issue utama pada APBD adalah berlanjutnya tekanan fiskal . Dimana resiko fiskal tercermin dari ketidakpastian alokasi dana transfer , khususnya DAU yang tidak bersifat final yang menyesuaikan dengan Penerimaan Dalam Negeri Netto (PDN). Masih dalam nota keuangan walikota diketahui juga bahwa secara nasional DAU tahun anggaran 2018 dalam RAPBN tahun anggaran 2018 akan mengalami penurunan sebesar 0,1 % atau 494 milyard rupiah. Sedangkan DAK fisik akan mengalami penurunan sebesar 6,3% atau 4,1 trilyun rupiah. Dengan demikian semua itu pastinya akan mempengaruhi APBD 2018 kota surakarta. Maka untuk memaksimalkan pendapatan pada APBD kota surakarta adalah dengan mengoptimalisasi PAD . Sekarang bagaimana kita akan mengoptimalikan PAD ? Kita tau bahwa PAD kita berasal dari pajak daerah dan retribusi . Kalo dari segi perpajakan maka sesuai uu no 28 tahun 2009 maka ada 11 pajak daerah yang dapat dipungut oleh pemkot tetapi yang dapat di optimalkan ada 9 yaitu: PBB, Hotel, Restoran, BPHTB, Parkir, Reklame, Air tanah, Hiburan, Burung wallet.
Peluang untuk mengoptimalkan pajak restoran masih sangat besar. Potensi untuk mendongkrak PAD dari sektor ini terbuka lebar selain sektor lainnya seperti pajak reklame, hotel dan hiburan.

Bicara tentang target pajak restoran, Pemkot Solo mentargetkan pada 2017 adalah Rp 28,25 milyar. Lebih besar dibandingkan pajak hotel yang Rp 24 milyar, pajak hiburan yang Rp 11 milyar dan pajak reklame yang Rp 8,5 milyar. Tetapi masih dibawah target Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang Rp 67 milyar maupun Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang Rp 59 milyar. Sekarang bagaimana kita optimalkan.

Sesuai uu no 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah maka yang termasuk restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/ atau minuman dengan dipungut bayaran yang mencakup juga rumah makan , kafetaria, kantin, warung, bar dan sejenisnya termasuk jasa boga/ katering. Atau sederhananya semua usaha yang berkaitan dengan menyediakan makanan maupun minuman akan terkena pajak daerah.

Sedangkan sesuai Perda no 4 tahun 2011 tentang pajak daerah, disebutkan tarif pajak ditentukan oleh penjualan yang didapat setiap bulannya. Kalau penjualannya di bawah Rp 1 juta atau rata-rata Rp 33 ribu per hari maka belum dikenai pajak restoran. Pajak restoran baru diberlakukan apabila penjualan di atas Rp 1 juta. Penjualan per bulan Rp 1 juta sampai Rp 5 juta akan kena tarif pajak sebesar 3% . Penjualan per bulan Rp 5 juta sampai Rp 10 juta akan kena tarif 5%. Sedangkan penjualan di atas Rp 10 juta per bulan akan dikenai tarif 10%, atau penjualan dengan rata-rata Rp 333 ribu per hari akan kena tarif 10%. Dan dalam pembahasan terbaru tentang Pajak Daerah ada rencana yang akan terkena Pajak Restoran adalah penjualan di atas Rp 7.5 juta dan tarifnya adalah sebesar 10%

Sewaktu berkunjung ke kantor Kanwil Pajak kami mendapat penjelasan bahwa pajak restoran berbeda dengan pajak pertambahan nilai (PPN). Dengan demikian apabila ada restoran atau rumah makan yang memungut PPN pada pelayanan maka itu adalah sesuatu yang salah. Sedangkan yang menjadi subjek pajak atau yang membayar pajak restoran adalah pembeli atau konsumen . Sementara restoran atau rumah makan adalah wajib pajak yang memungut pajak kepada konsumen atau pembeli dan nantinya akan menyetorkan pajaknya kepada Pemerintah. Kesimpulannya, yang menanggung pajak restoran adalah konsumen. Jadi, dengan jajan kuliner di Kota Solo, maka konsumen akan dibebani pajak restoran.

Akan tetapi, apakah selama ini pemilik restoran atau warung telah melakukan pemungutan pajak kepada para konsumen? Dari wawancara dan penelitan ternyata masih sangat minim. Pertama, masih banyak pemilik yang tidak paham pajak daerah adalah kewajiban mereka untuk memungut kepada konsumen. Kedua, mereka mengira bahwa pajak kewajiban mereka. Ketiga, mereka berfikir apabila mereka membebani pajak maka mereka tidak akan mampu bersaing dengan yang lain. Padahal semestinya semua restoran atau rumah wajib memungut pajak kepada konsumennya. Begitu juga dengan para konsumen mereka banyak yang tidak mengetahui mereka mempunyai kewajiban membayar pajak apabila mereka makan di restoran atau warung makan. Selama ini apabila konsumen membeli barang di minimarket /mall /showroom dsb , mereka juga membayar pajak, yaitu pajak pertamban nilai (PPN) yang tarifnya sama dengan pajak restoran sebesar 10%.

Dari data pajak restoran yang ada dapat diketahui ada sekitar 927 wajib pajak yang terdaftar terdiri dari 876 wajib pajak pribadi dan 51 wajib pajak gabungan. Dari semua wajib pajak diketahui tidak semua restoran memungut pajaknya secara maksimal . Hanya beberapa restoran ada yang mampu menyetor pajaknya antara Rp 30 juta  sampai Rp 100 juta per bulan. Bahkan ada yang mampu menyetor sampai Rp 200 juta per bulan maka, bisa dibayangkan berarti omzet mereka sekitar Rp 2 milyar atau sekitar 66,6 juta per hari. Luar biasa bukan .

Akan tetapi ada juga restoran yang hanya membayar pajaknya sekitar Rp 1-3 juta. Bahkan ada yang membayar di bawah Rp 1 juta. Bisa dibayangkan apabila ada yang membayar pajak Rp 3 juta, itu berarti omzetnya sekitar Rp 30 juta atau hanya Rp 1 juta per hari. Padahal kalo kita faktualnya restorannya cukup besar, daftar harga menu, lokasi strategis, dan pegawai cukup banyak. Maka dari itu, timbul pertanyaan apakah wajar pajak tersebut atau apakah selama ini mereka tidak memungut pajaknya kepada konsumennya. Belum lagi kalo itu adalah rumah makan kecil atau pedagang kaki lima (PKL) , biasanya mereka membayar pajaknya setiap minggu atau bulan dengan nilai yang tetap atau flat. Itupun nilainya sekitar Rp 100 sampai Rp 200 ribu setiap bulan.

Saya yakin potensi pajak restoran masih sangat besar, sehingga perlu ada intensifikasi dan ektensifikasi untuk meningkatkan pendapatan dari pajak restoran. Perbaikan sistem perpajakan dan kemudahan administrasi harus diperbaiki tapi perlu diakui karena jumlah Sumber Daya Manusia yang dimiliki sangat terbatas sehingga memang menyulitkan untuk memaksimalkan potensi. Maka dari itu, perlu ada sosialisasi dan penghargaan serta pemahaman dari semua stakeholder khususnya pengusaha dan konsumen ketaatan membayar pajak restoran adalah kewajiban kita semua, untuk menyukseskan pembangunan kota kita.