Fenomena Hutan Reklame, Diberantas atau Dibiarkan?
Kita tentu tak ingin wajah Kota Solo tiba-tiba berubah menjadi hutan reklame. Namun, melihat fakta yang terjadi saat ini, kita patut prihatin.
Bagaimana tidak, Solo dipenuhi dengan reklame yang semakin bertebaran, mulai dari spanduk, vertical banner, hingga baliho dan billboard. Reklame tersebut dapat terlihat di tanah privat, tanah publik, bahkan di pohon maupun tiang listrik atau telepon.
Hal ini tentu tak bisa dibiarkan begitu saja. Sebab, berpotensi menjadikan kota Solo sebagai hutan reklame. Teror visual tersebut tentu membuat ruang publik menjadi kawasan yang tidak nyaman.
Namun, kita patut bersyukur sebab Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPPKAD) Surakarta membuat gebrakan dengan melakukan penataan reklame, terutama vertikal banner. Penempatan vertikal banner tersebut hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan oleh pemerintah Kota (pemkot) Solo. Dengan begitu, reklame yang terpasang di lokasi yang bukan semestinya, bias dibredel langsung oleh tim penertiban reklame kota Solo. Langkah tersebut perlu diapresiasi, sebagai gebrakan penataan reklame vertikal.
Hanya, diakui masih banyak celah lantaran dimana sejumlah spanduk masih terpasang melintang jalan. Padahal, seharunya spanduk tersebut dipasang di tempat yang disediakan. Ada pula vertikal banner yang tetap terpasang di pohon, tiang listrik, tiang telepon, sehingga memicu sampah visual merusak wajah kota.
Salah satu jenis reklame yang cukup mengganggu, dan sulit dibersihkan adalah poster dan wheatpaste. Wheatpaste merupakan salah satu reklame kategori teror visual berbiaya murah dan tanpa dikenakan pajak. Bentuknya, berupa kertas maupun fotocopy. Yang umumnya dipasang di tiang listrik, boks telepon hingga tembok.
Celakanya, tak ada yang bertanggungjawab usai reklame ini dipasang. Kebanyakan, pelakunya ini berasal dari kampus atau pelaku bisnis seperti distro dan café. Mereka seolah lupa bahwa teror visual ini sangat mengotori wajah kota.
Sebenarnya, yang paling ditunggu adalah terbitnya atau lahirnya Peraturan Wali Kota (Perwali) tentang penyelenggaraan reklame. Meski sudah ada Perda Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Reklame, namun aturan yang menunjuk soal petunjuk dan ketentuan teknis sangat dibutuhkan. Dengan begitu bisa menjadi acuan agar reklame menjadi tertata dan beretika.
Suka tidak suka, reklame dalam hal ini dari sisi pajak, bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, kita tak ingin Kota Solo menjadi hutan reklame. Namun, sebaliknya potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor ini cukup besar, yakni Rp 8,5 miliar, didasarkan pada catatan di tahun 2017.
Namun demikian, apabila penataan dilakukan dengan tegas, maka Pendapatan Asli Daerah (PAD) bisa semakin meningkat jika tarif pajak reklame mampu disesuaikan, atau bahkan PAD dari reklame bisa dinaikkan 2 kali lipat.
Mengapa bisa demikian? Dalam pajak reklame ada 2 perhitungan pajak reklame, yakni reklame insidental dan reklame non insidental atau tahunan.
Sebagaimana aturan dalam Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang pajak daerah, dapat kita ketahui bahwa tarif pajak reklame ditetapkan sebesar 25 persen. Sedangkan, dasar pengenaan tarif pajak adalah nilai sewa reklame.
Untuk reklame non insidental seperti baliho dan tahunan, maka komponen perhitungan nilai sewa reklame cukup banyak yaitu Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), lokasi, nilai strategis, kelas jalan, dan ketinggian. Sedangkan untuk reklame insidental, maka pajak reklame dihitung cukup sederhana yaitu Rp 25.000 per meter per minggu.
Ada yang mengatakan bahwa pajak reklame Kota Solo untuk jenis spanduk terbilang sangat tinggi. Sebaliknya reklame jenis billboard justru cukup murah daripada kota lainnya.
Coba kita bandingkan. Untuk sebuah spanduk dengan ukuran 1x6 meter yang dipasang selama 1 minggu, maka nilai pajak reklamenya adalah Rp 150.000. Sedangkan berdasarkan dari BPPKAD, diketahui bahwa reklame billboard ukuran 5x10 meter, maka nilainya adalah Rp 6 juta per tahun. Sementara, untuk billboard ukuran 16x8 meter, maka akan dikenakan pajak Rp 20.000.000 per tahun.
Dengan demikian maka jika sebuah spanduk berukuran 1x6 meter dipasang selama satu tahun atau 52 minggu, maka spanduk tersebut pajaknya sekitar 52x Rp 150.000, artinya mencapai Rp 7,8 juta.
Artinya secara hitung-hitungan, pajak reklame insidental memang cukup mahal apabila dibandingkan dengan pajak non insidental atau tahunan.
Namun demikian, bila kita mencermati kembali penjelasan pada Pasal 24 ayat 6 tentang Perda Pajak Daerah, maka seharusnya pajak reklame yang berbentuk cover board atau MMT menggunakan tarif insidental.
Maka dari itu, sebuah billboard ukuran 5x10 meter yang menggunakan cover board atau MMT pajak reklamenya adalah 5x10x Rp 25.000 dikalikan 52 minggu, dengan begitu nilainya adalah Rp 65 juta. Bandingkan dengan perhitungan sebelumnya yang hanya Rp 6.000.000.
Artinya ada kenaikan sekitar 10 kali lipat. Seandainya perhitungan ini dipakai untuk menghitung pajak reklame, maka dipastikan target PAD sebesar Rp 8,5 miliar bisa mudah tercapai. Bahkan, bisa jadi melebihi 2 atau 3 kali lipat dari target, cukup manarik bukan?
Akan tetapi, persoalan reklame tidak hanya berkutat pada hal itu semata. Masih ada problem pelik lainnya.
Antara lain, seputar konten iklan yang tak semestinya dipampang di kawasan publik. Sebut saja, iklan rokok.
Sudah saatnya ada aturan atau regulasi yang jelas soal keberadaan reklame rokok. Hal ini lantaran sudah begitu banyak reklame rokok yang cenderung kebablasan.
Sebagai bukti, di Kota Solo, kita tahu keberadaan iklan rokok di sebuah videotron yang letaknya di depan SMP 1 Manahan. Tak hanya berbentuk videotron, bahkan spanduk iklan rokok pun banyak yang terpampang di kawasan pendidikan. Tentu saja teror visual ini menjadi potensi yang sangat membahayakan. Jika tak ada regulasi yang mengatur, bisa dibayangkan pengaruh negatif yang bisa saja ditimbulkan akan iklan-iklan tersebut.
Sebenarnya salah satu regulasi yang mengatur peredaran rokok dan iklannya adalah Peraturan Perundang-undangan (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Sayang aturan tersebut kurang bertaji dan masih ada celah yang dimanfaatkan oleh para produsen rokok.
Pada pasal 25 disebutkan, dimana setiap orang dilarang menjual rokok kepada anak di bawah usia 18 tahun, tapi faktanya banyak anak belum cukup umur yang sudah merokok.
Sedangkan pada pasal 29, iklan rokok di media penyiaran hanya dapat ditayangkan setelah pukul 21.30 WIB sampai dengan pukul 05.00 WIB. Namun demikian, faktanya ada videotron yang menyiarkan iklan rokok di luar ketentuan tersebut dengan alasan tidak menyalahi PP karena bukan berupa media penyiaran. Padahal konten iklan yang ditayangkan sama persis dengan di televisi.
Begitu juga ketika kita melihat film di bioskop. Banyak film-film box office yang diperuntukkan bagi remaja atau usai 13 tahun ke atas, namun masih menayangkan iklan rokok.
Pada pasal 31 jelas tertulis iklan rokok tidak boleh diletakkan di kawasan tanpa rokok, jalan utama atau protokol dan harus diletakkan sejajar dengan bahu jalan. Dengan kata lain, pengguna jalan harus menoleh apabila ingin melihat iklan rokok. Namun, yang terjadi tidak demikian.
Sedangkan khusus di pasal 49 dan pasal 52, pemerintah daerah wajib mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok seperti di fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum dan tempat kerja.
Maka dari itu sudah saatnya ada regulasi, baik itu Perda atau Perwali yang mengatur tentang rokok lebih mendalam sehingga menutup celah yang ada di PP. Bila perlu, apabila ada anak dibawah 18 tahun merokok, bisa ditertibkan oleh satpol PP, kemudian orangtuanya dipanggil agar memberi efek jera.
Khusus kawasan tanpa rokok di dalam Peraturan Perundangan (PP), pemerintah daerah wajib menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di wilayahnya dengan Peraturan Daerah. Mudah-mudahan Perda tersebut bisa dibuat di tahun ini. Sebab, raperdanya sudah masuk ke Badan Pembentukan Peraturan Daerah (BP2D) DPRD surakarta.
Sebenarnya semua produsen rokok akan tunduk kepada regulasi tetapi apabila ada celah dan tidak ada sanksi yang tegas maka akan ada pelanggaran.
Selain itu, pemahaman regulasi dan etika bisnis pelaku usaha menjadi sangat penting agar tidak terjadi hutan reklame dan pemasangan reklame khususnya reklame khusus "dewasa" seperti rokok. Maka, sudah saatnya memperhatikan etika, bukan sekedar berpedoman ‘yang penting laku dengan harga maksimal’.
Partisipasi dan kesadaran masyarakat menjadi sangat penting. Apalagi kita sadar betul bahwa ada keterbatasan pemerintah kota baik personil maupun peralatan. Sehingga peran masyarakat untuk menjaga dan merawat kotanya menjadi sangat penting.