Harta, Takhta, Kerajaan
Belum lama ini Keraton Solo mendapatkan kritik tajam dari pegiat sejarah. Komunitas sejarah dan budaya di Kota Solo, Solo Societeit, mempertanyakan eksistensi Sasana Pustaka Keraton yang hilang ditelan bumi beberapa tahun terakhir. Alih-alih menjadi rujukan yang komprehensif terkait Keraton hingga perjalanan bangsa Indonesia, fasilitas itu justru tertutup bagi masyarakat umum. Hal ini kontras dengan Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran yang rutin melayani pengunjung, bahkan di masa pandemi Covid-19.
Pengelola Sasana Pustaka mengklaim fasilitas tersebut masih terbuka untuk para peneliti. Apabila melihat Keraton sebagai pusat budaya, sulitnya publik mengakses kekayaan manuskrip bersejarah di Sasana Pustaka tentu menjadi bencana kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Jika merunut lebih jauh, minimnya akses ke Sasana Pustaka tak lepas dari konflik berkepanjangan antara kubu Raja Keraton Solo, Paku Buwana (PB) XIII dengan Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Solo. Posisi Sasana Pustaka memang berada di dalam Keraton dengan akses masuk melalui Kori Kamandungan. Hingga saat ini kubu LDA yang dipimpin GKR Wandansari (Gusti Moeng) tidak diizinkan masuk Keraton.
Sebelum isu Sasana Pustaka mencuat, konflik internal membuat rencana renovasi belasan titik bangunan Keraton terkatung-katung. Pemerintah gamang menggelontorkan dana bantuan karena kisruh yang tak berkesudahan sejak PB XII mangkat. Selain pembangunan fisik, atmosfer interaksi sosial serta pelestarian budaya di kawasan cagar budaya tersebut kini semakin redup. Saat ini kegiatan rutin seperti latihan menari jarang ditemui di lingkungan Keraton. Padahal saat saya masih kecil dulu, selalu ada latihan menari untuk kerabat, abdi dalem dan masyarakat setiap hari Minggu. Kegiatan tersebut menjadi kawah candradimuka penari-penari handal yang nantinya mentas menyajikan Bedhaya Ketawang saat Jumenengan Raja.
Sejak konflik internal memanas tahun 2017, latihan karawitan di Keraton, pendidikan pambiwara (MC) di Bangsal Marcukundha, belajar geguritan dan macapat di Sasana Parasdya hingga siaran langsung RRI di Bangsal Smarakata juga berangsur hilang. Keraton memang masih rutin menggelar Tingalan Jumenengan. Namun peringatan penobatan raja itu seperti semakin kehilangan daya magis karena digelar internal (hanya kubu pro-Sinuhun yang diundang), cenderung seremonial serta bagi-bagi gelar. Bukan rahasia apabila sejumlah tokoh mendapatkan kekancingan meski kontribusinya terhadap Keraton dan pelestarian budaya dipertanyakan. Itu belum membahas soal transparansi dana yang masuk dari pihak eksternal, apakah benar-benar dimanfaatkan untuk pengembangan dan pelestarian Keraton.
Pelaksanaan Jumenengan ke-18 yang digelar akhir Februari 2022 lalu pun berpotensi menimbulkan bom waktu menyusul pengukuhan KGPH Purbaya sebagai putra mahkota Raja Keraton Solo. Selain mengangkat putra mahkota, Sinuhun mengukuhkan istrinya, Asih Winarni, sebagai permaisuri bergelar Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Paku Buwana. Pengangkatan KGPH Purbaya sebagai putra mahkota hingga kini masih jadi perdebatan. LDA tengah mengkaji apakah pengangkatan KGPH Purbaya sebagai putra mahkota sudah sesuai ketentuan adat yang berlaku di Keraton. Demikian halnya apakah Purbaya bakal langsung otomatis menjadi raja ketika PB XIII mangkat.
Terlepas dari perdebatan itu, pengukuhan putra mahkota di tengah konflik Sinuhun dengan putri-putri PB XII yang belum selesai tentu bukan keputusan bijak. Kebijakan tersebut bisa memantik konflik internal baru alih-alih menyongsong kejayaan Keraton. Potensi itu tak bisa dikesampingkan setelah KGPH Mangkubumi tidak diperkenankan mengikuti Jumenengan. Mangkubumi adalah anak laki-laki tertua PB XIII dari istri sebelumnya, Winari Sri Haryani. Deretan problem ini mestinya dapat menjadi bahan introspeksi PB XIII. Sebagai raja yang hidup di alam modern, Sinuhun hendaknya menyesuaikan zaman dengan berperilaku demokratis dan terbuka dengan masukan. Keraton sekarang bukanlah keraton zaman sebelum kemerdekaan di mana saat itu masih mempunyai wilayah kekuasaan, abdi dalem, prajurit beserta aset-aset.
Di era kiwari, Sinuhun perlu menjadi role model yang memberi contoh dalam pelestarian budaya, adat istiadat dan filosofi Jawa. Bukan masanya lagi seorang raja berlaku otoriter, menganggap dirinya sebagai pemilik tunggal dan punya kewenangan mutlak terhadap Keraton dan seisinya. Sebaliknya, raja perlu merangkul semua saudara untuk membangun dan menjaga kelestarian Keraton. Pihak yang berseberangan jangan dianggap sebagai musuh, melainkan kawan untuk saling berbagi masukan demi pengembangan kawasan cagar budaya.
Kolaborasi dengan pemerintah juga tak bisa dihindarkan. Keraton Solo berbeda dengan Keraton Jogja yang memiliki keistimewaan untuk mengatur wilayahnya sendiri. Sudah banyak kasus dana bantuan pemerintah, mulai dari Pemkot sampai pemerintah pusat, gagal diberikan lantaran problem internal yang masih membayangi Keraton Solo. Hal ini ironis mengingat Keraton Solo masuk dalam salah satu objek wisata utama merujuk Perda No.13 Tahun 2016 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah. Pengembangan dan perlindungan kawasan Keraton juga diperkuat Perda No.10 Tahun 2013 tentang Cagar Budaya dan Perda No.4 Tahun 2018 tentang Pemajuan Warisan Tak Benda.
Pemangku kepentingan di Keraton Solo perlu berkaca pada pengelolaan Pura Mangkunegaran yang berkembang. Suksesi yang baru saja menetapkan GPH Bhre Cakrahutomo sebagai KGPAA Mangkunegara (MN) X pun relatif lancar meski sempat muncul friksi internal. Sebagai sosok anak muda, MN X langsung menunjukkan gaya kepemimpinan yang terbuka, inklusif dan kolaboratif dengan berbagai pihak. Saya memiliki keyakinan Keraton Solo dapat kembali moncer sebagai pusat budaya apabila Sinuhun mau menurunkan sedikit ego untuk mengakhiri konflik internal. Bagaimanapun, Keraton Solo memiliki sejarah panjang dan turut menjadi ikon Kota Solo bahkan Indonesia. Sudah saatnya Keraton dipandang bukan lagi karena konfliknya, tapi budayanya.
Oleh: Ginda Ferachtriawan
Anggota Komisi IV DPRD Solo, Kerabat Keraton Solo