Skip to main content
Hidup Berdamai dengan Covid-19

Hidup Berdamai dengan Covid-19

Bapak Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo menyatakan Solo berstatus kejadian luar biasa (KLB) Covid-19 di Loji Gandrung pada Jumat (13/3/2020) malam WIB. Sebuah keputusan yang cukup mengagetkan, tapi juga tepat untuk dilakukan. Sebenarnya, keputusan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo menyatakan KLB sudah bisa diprediksi mengingat sebelumnya sudah ada Surat Edaran Wali Kota Solo No 443.26/581 Tahun 2020 tentang Kesiapsiagaan Menghadapi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), disusul ada warga Solo yang terjangkit  virus ini hingga ada yang meninggal dunia.

Status KLB Solo ini pun berdampak pada banyak hal, antara lain sekolah dari tingkat SD hingga SMA diminta untuk belajar di rumah, car free day (CFD) ditiadakan, pertunjukan wayang orang di GWO Sriwedari dan ketoprak di Taman Balekambang diliburkan, kegiatan olahraga di kompleks Stadion Manahan dan Stadion Sriwedari ditutup, semua destinasi pariwisata ditutup, hingga kunjungan kerja dan penerimaan kunjungan kerja Pemkot maupun DPRD turut dibatalkan.

Selain itu, penetapan KLB dikuti dengan pembatasan lain mengacu pada SE Wali Kota No 510/708 tentang Pembatasan Jam Operasional untuk Mal, Pasar Modern, Pusat Kuliner, dan Tempat Hiburan menjadi pukul 11.00 WIB sampai pukul 20.00 WIB. Sementara gedung pertemuan dan hotel juga dilarang menyelengarakan kegiatan yang melibatkan orang banyak seperti pernikahan, seminar, dan lain-lain. Begitu pula dengan tempat ibadah diminta untuk menunda atau menghindari atau membatalkan kegiatan yang melibatkan orang banyak.

Dampak pandemi Covid-19  terhadap penyerapan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kota Solo juga luar biasa. Semua kegiatan yang dibiayai APBD dibatalkan. Ini baik yang melibatkan kerumunan, seperti festival dan gelar budaya, hingga kegiatan pembangunan fisik. Tak pelak, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) atau dinas pun mesti melakukan rasionalisasi dan pergerseran anggaran untuk penanganan Covid-19. Tak terkecuali kegiatan di DPRD yang turut dipangkas, seperti pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) dan reses. Praktis, bisa dipastikan untuk semester I tidak ada kegiatan anggota dewan yang akan bertemu dengan  konstituennya untuk menyerap aspirasi atau reses.

Otak-atik anggaran pun memunculkan angka sebesar Rp46 miliar yang dialokasikan untuk penanganan Covid-19. Adapun tahap pertama digunakan untuk belanja perlengkapan di RSUD Bung Karno serta fasillitas kesehatan lainnya. Selain itu, alokasinya juga untuk pemberian bantuan sembako kepada masyarakat terdampak corona yang nilainya mencapai Rp10 miliar untuk sekitar 40.000 warga Solo.

Alokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 pun masih akan bertambah. Info terakhir Pemkot Solo bakal memangkas anggarannya sampai Rp277 miliar lantaran pendapatan daerah diprediksi turun drastis. Sedangkan kegiatan belanja akan difokuskan untuk penangganan Covid-19 dan dampak-dampak lain yang ditimbulkan dari virus tersebut.

Sayangnya, meski semua lini terkena dampak wabah Covid-19, tetapi masih ada masyarakat yang belum menganggap serius masalah ini. Mereka enggan memakai masker, tetap berkerumun serta mengabaikan imbauan pemerintah sebagai upaya pencegahan persebaran corona. Meskipun demikian, ada pula masyarakat yang sangat kritis dan merasa paling mengerti tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk memutus mata rantai wabah tersebut.

Seiring dengan adanya wabah ini, banyak istilah baru muncul yang tak semua dipahami oleh masyarakat. Hal ini memicu perdebatan di tengah masyarakat. Misalnya, perlu atau tidaknya lockdown, rapid test, Polymerase Chain Reaction (PCR), pandemi, work from home (WFH), pasien dalam pengawasan (PDP), orang dalam pengawasan (ODP), orang tanpa gejala (OTG), physical distancing, landaikan kurva, dan masih banyak lagi.

Saya pun bertanya tentang langkah-langkah apa yang dilakukan Pemkot Solo dalam menghadapi KLB wabah corona. Demi mengharapkan jawaban yang tepat, saya mencari informasi seperti bertanya ke Pemkot, membaca berita di media cetak, media online, bertanya ke kota atau kabupaten lain tentang langkah-langkah apa yang mereka lakukan di wilayahnya, menonton para ahli berbicara di televisi atau Youtube, mendengarkan mereka di Podcast atau media online, dan sebagainya.

Berbagai informasi yang berkaitan dengan wabah ini sangat mudah didapatkan. Meskipun, ada informasi yang bermanfaat, ada juga yang malah membuat kita menjadi ketakutan. Ini belum lagi adanya informasi yang salah atau hoaks. Informasi yang kita dapatkan harus kita pilah dan pilih baru disampaikan kepada masyarakat.

Beberapa hal yang saya pelajari dari wabah ini adalah bahwa virus ini belum ada obatnya maupun vaksinnya sehingga yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan atau menjinakkan virus ini. Atau dengan istilah Bapak Presiden adalah hidup berdamai dengan Covid-19.

Virus ini menyebar melalui interaksi antarmanusia, droplet yang keluar dari manusia dan mengenai manusia atau menempel ke permukaan benda kemudian tersentuh oleh manusia menjadi alat penyebarannya. Meskipun begitu, orang yang mempunyai imunitas yang baik bisa sembuh dengan sendirinya (self limited disease). Ini berbeda dengan orang yang sudah mempunyai penyakit bawaan atau usianya rentan (lanjut usia), maka resiko terkena virus itu semakin besar. Maka dari itu, kebijakan KLB merupakan salah satu langkah untuk memutus mata rantai persebaran corona.

Adapun cara-cara yang bisa kita lakukan adalah menggunakan masker. Dengan memakai masker, bukan berarti kita tidak bisa tertular, tapi justru kita tidak bisa menularkan virus ini kepada orang lain. Maka dari itu, jika masyarakat yang keluar dari rumah memakai masker, berarti kita sama-sama menghormati dengan tidak saling menularkan. Selain itu, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir merupakan cara paling efektif untuk menghilangkan virus ini dari tangan.

Setelah melakukan berbagai cara untuk memutus mata rantai persebaran corona, maka sebaiknya diikuti juga dengan memperbanyak tes dan menyiapkan semua kebutuhan obat untuk yang terinfeksi. Pada awalnya untuk tes memang masih banyak kendala. Alat tes PCR kita sangat terbatas di Indonesia, yakni hanya ada 3 lab yang mampu melakukan tes PCR. Pemerintah pusat pun menargetkan sebanyak 72 lab yang bisa melakukan. Per 4 Mei 2020 sudah ada 48 lab di indonesia yang mampu melakukan tes PCR.

Sementara di Solo, yang mampu melakukan tes ini baru RS UNS. Bagaimana pun tes PCR saat ini diyakini paling akurat untuk mengetahui orang sudah terinfeksi corona atau belum jika dibandingkan dengan rapid test.

Rapid test hanya memberi tahu apabila hasilnya reaktif, itu berarti di dalam tubuh kita sudah terbentuk antibodi yang sedang melawan atau sudah melawan virus tersebut. Ada yang mengatakan kalau orang yang sehat, tetapi di hasilnya rapid test reaktif, maka   berarti antibodi di tubuhnya bisa atau sudah mengalahkan virus. Akan tetapi, ia tetap harus di karantina agar tidak menulari orang lain karena termasuk OTG. Tes ini lebih mempunyai manfaat untuk mendata atau mensurvei suatu wilayah apakah sudah ada persebaran di daerah tersebut.

Jadi, setelah Pemkot Solo melakukan semua kebijakan pembatasan sosial, karantina bagi warga pendatang, maka seharusnya yang dilakukan adalah tes massal dan diikuti dengan tracing atau mencari orang yang mungkin terinfeksi. Setelah ditemukan, mereka lalu dikarantina dan disembuhkan.

Hal yang perlu diwaspadai adalah OTG. Bayangkan ketika ada anak muda OTG,  kemudian pulang ke rumah yang juga ditinggali neneknya, yang muda mungkin bisa sembuh dan tidak merasakan gejala apa-apa, tetapi untuk sang nenek bisa sangat membahayakan.

Dalam kondisi yang seperti ini, saat ini sudah ada beberapa negara yang mulai melonggarkan aturan pembatasan di wilayahnya. Kenapa hal itu mereka lakukan? Ini lantaran jumlah pasien positif corona cenderung menurun dan masyarakat sudah mulai disiplin dalam mengikuti imbauan dari pemerintah. Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah siap?

Dalam sebuah tulisan milik Tomas Pueyo, penulis asal Perancis, berjudul Coronavirus, The Hammer and The Dance yang saya dapat di Twitter akun @edwardsuwardi menurut saya sangat pas dengan kondisi kita. Hal yang tepat dilakukan adalah melandaikan kurva, yakni melambatkan jumlah penderita Covid-19 agar semua pasien nantinya mendapat perlindungan kesehatan, dengan cara memutus mata rantai persebaran virus ini. Dalam tahap The Hammer yang dilakukan pemerintah dan masyarakat adalah mempalu kurva agar menjadi lebih landai. Ini bisa dilakukan dengan lockdown, physical distancing, membatasi kerumunan, meliburkan sekolah, dan sebagainya. Sedangkan dalam tahap The Dance, ketika kurva sudah bisa dilandaikan, maka saatnya kehidupan bisa berjalan normal kembali. Akan tetapi, perlu diingat karena belum ada obat maupun vaksin, maka akan ada kehidupan normal bentuk baru, yakni kita harus beradaptasi dalam melakukan kegiatan. Akan ada kebiasaan baru dan protokol baru dalam hidup ini, tahap ini disebut tahap The Dance. Maka, mari kita mulai mempersiapkan diri dan merencanakan apa yang terbaik dalam tahapThe Dance.

Mari kita siapkan semua siswa mulai dari SD sampai universitas  bisa mendapatkan pelajaran dasar dan tugas dari sekolah tentang Covid-19. Dengan begitu, pada akhirnya masyarakat akan lebih mengerti banyak tentang virus ini.

Lalu apa yang akan terjadi pada kehidupan normal yang baru? Ya, semua orang akan menggunakan masker, banyak pekerjaan kantor yang akan dilakukan dari rumah, layanan dunia digital akan meningkat, hingga sekolah yang bisa dilakukan secara online atau dengan prosedur yang berbeda.

Misalnya, untuk anak-anak sekolah masuknya bisa bergantian hari, 1 meja yang biasa diisi 2 murid sekarang menjadi 1 murid saja. Sedangkan jam masuk, jam istrirahat, dan jam pulang sekolah akan dibuat berbeda setiap kelas.

Sementara toko dan rumah makan akan mulai membatasi jumlah pengunjung yang dapat masuk demi menjaga jarak. Pembatasan jarak ini bakal menjadi kebiasaan baru, padahal untuk antre saja kita masih kesulitan.

Tak ketinggalan, pertandingan olahraga dan event musik akan dikurangi kapasitasnya atau mungkin akan ditonton secara streaming online. Adanya Covid-19 ini merubah semua kebiasaan kita. Nilai positifnya, masyarakat menjadi lebih sehat lantaran menerapkan standar kesehatan sebagai upaya penanganan corona.

Jalanan mungkin menjadi ramai lagi, tapi akan diimbangi dengan perubahan perilaku masyarakat yang lebih memerhatikan keselamatan, kesehatan, dan jaga jarak.

Jadi, kapan status KLB ini akan berakhir? Jangan tanya kapan KLB ini berakhir, tapi tanya apa yang bisa kita lakukan untuk mengakhiri KLB ini. Perlu dicatat, pemerintah tidak akan mampu mengatasi wabah Covid-19 ini tanpa ada kedisiplinan tinggi dan solidaritas dari kita semua.

Dengan gotong-royong kita lawan Covid-19. Seperti kata Bung Karno: “Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!"